MAKALAH
PRINSIP EKONOMI DALAM SYARIAT ISLAM
D
I
S
U
S
U
N
O
L
E
H
KELOMPOK 2
XI IPA 4
A.TENRI AYU WULANDARI
AHMAD RIZIQ AQHSA
MOCH. ICHWAN AQILAH
MUH. AHSAN
MUH. FIKRI AEKAL
NUR AFIFAH
RAYHAN AHMAD FADHIL
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah membimbing kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan dan petunjuk-NYA, penyusun tidak akan menyelesaikan makalah ini dengan penuh kelancaran.
Makalah ini kami susun agar pembaca dapat memahami tentang Ekonomi Dalam Syariat Islam. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi wawasan dan pemahaman yang luas kepada pembaca.
Penyusun menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga kami masih mengharap kritik dan saran dari para pembaca.
Terima kasih.
Kelompok 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sistem Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis, tidak dari sudut pandang sosialis, dan juga tidak merupakan gabungan dari keduanya. Islam memberikan perlindungan hak kepemilikan individu, sementara “untuk kepentingan masyarakat didukung dan diperkuat, dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan publik dan individu serta menjaga moralitas”.
Dalam ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang dihindarkan dan secara otomatis tindakan untuk memindahkan aliran kekayaan kepada anggota masyarakat harus dilaksanakan. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil, berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya kepada satu kelompok saja, tetapi tersebar ke seluruh masyarakat.
Islam memperbolehkan seseorang mencari kekayaan sebanyak mungkin. Islam menghendaki adanya persamaan, tetapi tidak menghendaki penyamarataan. Kegiatan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu banyak harta dikuasai pribadi. Di dalam bermuamalah, Islam menganjurkan untuk mengatur muamalah di antara sesama manusia atas dasar amanah, jujur, adil, dan memberikan kemerdekaan bermuamalah serta jelas-jelas bebas dari unsur riba.Islam melarang terjadinya pengingkaran dan pelanggaran larangan-larangan dan menganjurkan untuk memenuhi janji serta menunaikan amanat.
Berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli, menunjukkan adanya masyarakat muslim yang dengan sadar memilih berintegrasi pada perekonomian dalam perbankan shari‘ah sebagai implementasi ketaatan beragama, sekaligus sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan pendahuluan diatas, untuk itu dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil sebuah judul “EKONOMI DALAM ISLAM”. Maka penulis mengemukakan pokok masalah sebagai berikut :
1) Apa pengertian ekonomi dalam islam?
2) Apa hukum dan dalil jual beli?
3) Apa rukun dan syarat jual beli?
4) Apa tujuan ekonomi islam?
5) Apa prinsip-prinsip ekonomi dalam islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan utama penulisan pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut :
1) Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PAI.
2) Untuk memberikan penjelasan tentang ekonomi dalam islam.
D. Manfaat Penulisan
1) Dapat menambah pengetahuan tentang ekonomi dalam islam
2) Dapat mengetahui tentang apa saja hukum dan dalil jual beli
3) Dapat mengetahui rukun dan syarat jual beli
4) Dapat mengetahui tujuan ekonomi dalam islam
5) Dapat mengetahui prinsip-prinsip ekonomi dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Dalam Islam
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yangdidapatkan kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umatmanusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah SWT untuk dipertanggungjawabkan.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomimanusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah SWTmemerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR. Thabrani dan Baihaqi)
Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menawarkan /menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/ membeli barang yang dijual).
B. Landasan Hukum Jual Beli
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkanberdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1. Al Qur’an
Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).
2. Sunnah
Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadisunnah, wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah,misalnya dalam jual beli barang yang hukum menggunakan barangyang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan. Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti rokok.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:
Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
Objek akad (barang dan harga)
Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
a. Orang yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2. Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S. An-Nisa’(4): 5):
b. Sigat atau Ucapan
Ijab dan Kabul. Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :
1. Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
2. Kabul harus sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.
c. Barang Yang Diperjual Belikan
Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
1. Barang yang diperjual-belikan itu halal.
2. Barang itu ada manfaatnya.
3. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
4. Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
d. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :
1. Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3. Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).
D. Khiyar
Khiyar artinya boleh memilih satu di antara dua, melanjutkan atau meneruskan jual beli atau menarik kembali atau membatalkan jual beli (tidak jadi membeli). diadakannya khiyar oleh syariat Islam, agar kedua orang yang melakukan jual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, agar tidak ada penyesalan dari kedua belah pihak. hukum dari khiyar itu sendiri yaitu boleh. Khiyar hukumnya mubah dan disyaratkan dalam agama islam.
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Macam-macam khiyar
1. Khiyar Majlis : yaitu pembeli dan penjual boleh melakukan khiyar, jadi atau tidaknya jual beli itu asal si penjual dan pembeli belum meninggalkan majlis.
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Artinya : “Apabila ada dua orang berjual beli, maka setiap orang dari keduanya masih boleh khiyar (yakni jadi atau tidak jadi) asal kedua belah pihak belum berpisah.” (HR Bukhari dan Muslim)
2. Khiyar Syarat : seperti membeli pakaian, baju atau celana dengan perjanjian jika cocok ukurannya, maka jadilah membeli akan tetapi kalau tidak cocok, dan setelah dicoba dirumah memang tidak cocok, maka boleh dikembalikan atau ditukar dengan yang lainnya. Khiyar Syarat boleh dilakukan segala macam jual beli. contohnya : “menjual barang dengan harga sekian, dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari”.
Nab Muhammad Saw bersabda kepada seorang laki-laki:
Artinya :” Kamu berhak melakukan khiyar di segala barang yang kamu beli, asal masih dalam waktu tiga hari tiga malam.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah)
Dalam hadis lain diriwayatkan
Artinya : ” Dari Jabir ra, bahwa ia pernah menjual seekor unta kepada Nabi Saw. dengan syarat (setelah akad jual beli) ia dibolehkan menunggang unta itu untuk pulang ke keluarganya.” (HR Baihaqi dan Muslim)
3. Khiyar ‘Aibi : artinya boleh khiyar kalau membeli barang lalu terdapat cacat yang tidak diketahui oleh pembeli pada waktu melakukan akad jual beli. pembeli boleh mengembalikan barang tersebut, dan penjual harus menerima barang pengembaliannya itu.
Dari Ibnu Umar ra, beliau berkata:
Artinya : ” Seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah Saw, bahwa ia tertipu dalam jual beli, maka Rasulullah Saw bersabda : “Apabila kamu jual beli, katakanlah : jangan ada tipuan”. (HR Bukhari dan Muslim).
E. Riba
Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal yang khusus. Dalam kitab Mughnil Muhtaaj disebutkan bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah satunya.
Macam-macam riba :
1. Riba Fadhal
Riba Fadhal adalah tambahan yang disyaratkan dalam tukar menukar barang yang sejenis. Jual beli ini disebut juga sebagai barter, tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut.. Hal ini diperjelas dalam hadist berikut ini.
Rasul SAW bersabda, “Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran,timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba.” (HR Muslim)
2. Riba Al Yad
Riba Al Yad adalah riba dalam jual beli atau yang terjadi dalam penukaran. Penukaran tersebut terjadi tanpa adanya kelebihan, namun salah satu pihak yang terlibat meninggalkan akad, sebelum terjadi penyerahan barang atau harga.
Penjelasan mengenai riba terdapat juga dalam hadist dari Rasulullah sebagai berikut:
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya : wahai Rasul: bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW “Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).”(HR Ahmad dan Thabra¬ni).
3. Riba Nasi’iah
Riba Nasi’ah adalah tambahan yang disebutkan dalam sebuah perjanjian pertukaran barang atau muqayadhah atau barter, sebagai imbalan atas ditundanya suatu pembayaran. Riba jenis ini hukumnya sangat jelas.
4. Riba qardh
Pengertian riba qardh adalah riba karena adanya persyaratan kelebihan pengembalian pinjaman yang dilakukan di awal akad atau perjanjian hutang-piutang. Sehingga saat jatuh tempo hutang, pemberi hutang (muqridh) menerima pengembalian sebesar pokok ditambah kelebihan yang dipersyaratkan dari penerima hutang (muqtharidh).
Contoh transaksi riba qardh dalam kehidupan sehari-hari masih sering ditemukan. Baik transaksi yang dilakukan oleh orang-perorangan, maupun lembaga keuangan. Berikut ini adalah beberapa praktek riba qardh yang sebaiknya dihindari.
Berikut ini adalah 9 syarat jual beli dalam islam
1. Berakal – pihak yang bertransaksi haruslah telah baligh, memiliki kemampuan mengatur uang, dan kompeten dalam melakukan jual beli.
2. Kehendak sendiri – Para pihak yang terlibat melakukan tranasaksi dengan ridha dan sukarela, karena jika dilakukan dengan paksaan, termasuk transaksi yang bathil (Q.S An-Nissa: 29).
3. Mengetahui – Para pihak telah mengetahui barang dan harga jualnya, tidak boleh ada ketidak jelasan (ghoror) seperti membeli susu yang masih belum diperah.
4. Suci barangnya – barang yang diperjualbelikan bukan benda najis atau yang barang yang haram.
5. Barang bermanfaat – barang pada transksi jual beli memiliki manfaat sehingga tidak mubazir.
6. Barang sudah dimiliki – penjual telah memiliki hak untuk menjual barang tersebut, baik itu dengan telah membeli telebih dahulu dari suplier/produsen, atau telah memperoleh izin untuk menjual dari pemilik barang. (kecuali jika melakukan jual beli salam).
7. Barang dapat diserahterimakan – barang yang tidak dapat diserahkan, seperti jual beli burung yang sedang terbang, berpotensi besar tidak terealisasi, sehingga menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
8. Ijab dan qabul transaksi harus berhubungan (tidak ada pemisah) meskipun berbeda tempat (mazhab hanafi).
9. Lafadz dan perbuatan jelas – pengucapan menjual dan membeli oleh para pihak harus jelas dan saling berkait, selain itu ijab qabul juga dapat dilakukan sesuai kebiasan perdagangan setempat, seperti menyerahkan uang dan penjual menyerahkan barang.
F. Utang-Piutang
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jangka waktu yang disepakati. Utang piutang disebut dengan “dain” (نيد). Istilah “dain” (نيد) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (ضرق) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman.
a. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya.
b. Hukum orang yang berhutang menjadi sunah dan hukum orang yang menghutangi menjadi wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya
c. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam seperti untuk membeli minuman keras, menyewa pelacur dan sebagainya.
Rukun Hutang – piutang
1. Ada yang berpiutang dan yang berutang
2. ada harta atau barang
3. Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Syarat Hutang Piutang dalam Islam
4. Harta yang dihutangkan jelas dan dari harta yang halal.
5. Pemberi pinjaman tidak dibolehkan mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti perasaan pihak yang piutang (yang meminjam).
6. Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mencukupi keperluannya dan mendapat ridho Allah dengan mempergunakan yang dihutangkan secara benar.
7. Harta yang dihutangkan tidak membuat atua memberi kelebihan atau keuntungan pada pihak yang mempiutangkan.
Adab Hutang Piutang dalam Islam
• Ada perjanjian tertulis dan saksi yang dapat dipercaya.
• Pihak pemberi hutang tidak mendapat keuntungan apapun dari apa yang dipiutangkan.
• Pihak piutang sadar akan hutangnya, harus melunasi dengan cara yang baik (dengan harta atau benda yang sama halalnya) dan berniat untuk segera melunasi.
• Sebaiknya berhutang pada orang yang shaleh dan memiliki penghasilan yang halal.
• Berhutang hanya dalam keadaan terdesak ata darurat.
• Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli.
• Memberitahukan kepada pihak pemberi hutang jika akan terlambat untuk melunasi hutang.
• Pihak piutang menggunakan harta yang dihutang dengan sebaik mungkin.
• Pihak piutang sadar akan hutangnya dan berniat untuk segera melunasi.
Bahaya Sikap Hutang Piutang
1. Menyebabkan Stres
2. Merusak Akhlak
3. Dihukum Layaknya Seorang Pencuri
4. Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
““Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (H. R. Ibnu Majah).
5. Jenazahnya Tidak dishalatkan
6. Dosanya Tidak Terampuni Sekalipun Mati Syahid
7. Tertunda Masuk Surga
8. Pahala adalah Ganti Hutangnya
9. Urusannya Masih Menggantung
G. Pengertian Sewa Menyewa (Ijarah)
Salah satu bentuk Muamalah yang dapat kita lihat dan itu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan masyarakat yakni sewa menyewa,dimana masalah sewa menyewa mempunyai peran penting dalam kehidupan seharihari sejak jaman dahulu hingga sekarang,kita tidak dapat membayangkan apabila sewa menyewa tidak dibenarkan dan diatur oleh hukum islam maka akan menimbulkan berbagai kesulitan-kesulitan dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-ijarah, yang artinya upah, sewa, jasa atau imbalan.1 Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan Muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Rukun sewa-menyewa ada empat :
1. Dua orang yang melakukan jual-beli
Dua orang ini merupakan orang yang baligh dan berakal, dimana mereka ini dianggap memiliki kemampuan atas diri sendiri maupun kemampuan mengelola hartanya.
2. Shighat(Ijab qabul)
Ijab qabul dalam hal ini merupakan ucapan yang keluar dari oranya yang menyewaan dan penyewa. Namun apabila sudah menjadi kebiasaan ataupun adat maka dengan tindakan pun sudah sah untuk sewa menyewa, contohnya seperti mobil pengangkut barang, tanpa ada ijabqabul pun apabila ada orang yang menaruh barang di mobil tersebut dan diantarkan sampai tujuan walaupun tanpa terjadi akad maka praktek sewa menyewa tetap sah.
3. Manfaat (guna barang)
Barang yang disewakan memiliki syarat-syarat seperti berikut :
Bernilai
Maksud bernilai adalah barang sewaan harus memiliki nilai baik menurut syara’ ataupun adat(kebiasaan) sehingga layak untuk diberikan imbalan.
Manfaat barang dapat diserahkan oleh penyewa.
Maksudnya adalah manfaat barang yang disewakan dapat diserangkan baik secara kongkret maupun syara’. Sehingga tidak sah menyewaan barang yang diambil dari orang tanpa izin ataupun menyewakan yang dicuri atau hilang. Contoh sewa menyewa yang tidak sah karena orang yang menyewakan tidak mampu menyerahakan manfaat barang adalah menyewakan tanah untuk bertani tetapi air tanah tersebut tidak memiliki cukup air sepanjang waktu, padahal sudah maklum bawah tanah tersebut tidak cukup hanya mengandalkan air hujan.
Manfaat
Manfaat disini adalah sewa-menyewa memberikan manfaat bagi si penyewa bukan yang menyewakan. Beberapa contoh sewa menyewa yang tidak sah karena tidak memberikan manfaat bagi penyewa adalah menyewakan jasa mengerjakan ibadah sholat dan puasa, karena ibadah tersebut membutuhkan niat dan tidak bisa diwakilkan.
Ada juga ibadah yang dapat diwakilkan walaupun membutuhkan niat, maka diperbolehkan menyewa orang lain untuk mengerjakannya misal haji bagi orang yang tidak mampu(*mungkin yang dimaksud adalah tidak mampu secara jasmani_red) dan orang yang sudah meninggal, menyembelih binatang qurban untuknya. Kemudian mengambil upah karena mengajarkan Al-Quran, juga diperbolehkan. Karena biaya belajar menjadi tanggungan orang yang belajar.
Tidak bertujuan memiliki wujud barang yang disewa
Tidak sah menyewa kebun untuk mengambil buah-buahan yang ada, menyewa domba untuk diambil bulunya. Akan tetapi jika tidak menjadi tujuan yang disengaja maka diperbolehkan misalnya menyewa sebuah rumah untuk ditempati akan tetapi didalamnya terdapat pohon yang berbuah, maka diperbolehkan memetiknya.
Diketahui oleh kedua belah pihak baik bentuk, sifat, maupun ukurannya
Barang yang akan disewakan diketahui ciri-cirinya dan diketahui diketahui letaknya dimana, mengetahui ukuran manfaat. Contoh mengetahui ukuran manfaat adalah menyewakan rumah disertai dengan penjelasan batas waktunya, kemudian menyewa tukang jahit sampai bajunya selesai (disini yang menjadi patokan bukan waktu tapi selesainya pekerjaan)
4. Upah (sewa)
Upah pada akad sewa hakikatnya adalah harga atas manfaat yang dimiliki.
H. Qirad.
Qirad ialah kerja sama dalam bentuk pinjaman modal tanpa bungan dengan perjanjian bagi hasil. Biasanya qirad dilakukan pemilik modal ( baik perorangan maupun lembaga) dengan orang lain yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk menjalankan suatu usaha. Besar kecilnya tergantung pada pemufakatan kedua belah pihak, yang penting tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Apabila qirat menyangkut uang yang cukup besar, sebaiknya diakan perjanjian tertulis dan dikuatkan dengan dua orang saksi yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Dalam ajaran agama islam hukum qirad adalah mubah atau jaiz. Rasulullah saw sendiri pernah mengadakan qirad dengan istrinya Siti Khadijah sebelum menjadi istri beliau sewaktu berniaga ke Syam. Dalam kenyataan hidup ada beberapa orang yang memiliki modal tetapi tidak mampu atau tidak sempat mengembangkannya, sementara itu ada orang yang memiliki kesempatan dan kemauan untuk berusaha tetapi tidak memiliki modal. Olehnya itu islam memberikan kesempatan kepada keduanya untuk mengadakan kerja sama dalam bentuk qirad.
Rukun dan Syarat Qirad
Qirat bisa berlansung apabila memenuhi rukun dansyarat sebagai berikut :
a. Rukun
1. Pemilik dan penerima modal 3. Pekerjaan
2. Modal 4. Keuntungan
b. Syarat
1. Dewasa, sehat akal dan sama-sama rela
2. Harus diketahui jelas jumlahnya baik oleh pemilik maupun penerima modal
3. Jenis pekerjaan ditentukan sendiri oleh penerima modal sesuai bakat dan kemampuannya dan pemilik modal perlu mengetahui jenis pekerjaan tersebut
4. Besar atau kecilnya bagian keuntungan hendaknya dibicarakan saat mengadakan perjanjian
I. Musaqah
Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.
Hukum musaqah adalah mubah (boleh) sebagaimana sabda Rasulullah
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya nabi saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (HR. Muslim) Jika ada orang kaya memiliki sebidang kebun yang di dalamnya terdapat pepohonan seperti kurma dan anggur dan orang tersebut tidak mampu mengairi atau merawat pohon-pohon kurma dan anggur tersebut karena adanya suatu halangan, maka diperbolehkan untuk melakukan suatu akad dengan seseorang yang mau mengairi dan merawat pohon-pohon tersebut. Dan bagi masing-masing keduanya mendapatkan bagian dari hasilnya.
Rukun Musaqah.
1. Pemilik dan penggarap kebun.
2. Pekerjaan dengan ketentuan yang jelas baik waktu, jenis, dan sifatnya.
3. Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau yang lainnya. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun) misalnya seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.
4. Akad, yaitu ijab qabul baik berbentuk perkataan maupun tulisan.
Rukun Syirkah
Secara garis besar, terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut.
1. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Persyaratan orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal.
3. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan. Akad atau yang disebut juga dengan istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan.
Macam-Macam Syirkah
1. Syirkah ‘Inan Syirkah ‘inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
2. Syirkah ‘Abdan Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) maupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
3. Syirkah Wujuh Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
4. Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawadhah, atau ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh.
J. Perbankan syariah
Prinsip-prinsip Dasar Syariah
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist.Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas).
Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu :
Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.
Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya.
Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah
Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan “Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah”
Pengertian bank konvensional
Bank konvensional ialah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran secara umum berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan. Contoh : Bank Mandiri,
Pengertian bank syariah
Bank syariah ialah perbankan yang segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Nama bank syariah sebenarnya hanya digunakan di Indonesia saja, bank syariah pada internasional disebut sebagai bank islam. Contoh : Bank BNI Syariah, Bank Mandiri Syariah.
Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah
Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akad dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture/budayanya.
Akad atau Perjanjian
• Pada bank konvensional perjanjian dibuat berdasarkan hukum yang positif.
• Pada bank syariah perjanjian yang dibuat berdasarkan hukum islam
Hasil atau Bunga
Pada bank konvensional menggunakan sistem bunga dan memprioritaskan keuntungan.
• Penentuan dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
• Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
• Pembayaran bunga tetap tanpa melihat untung atau rugi.
• Pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat
Pada bank syariah tidak menggunakan sistem bunga melainkan sistem bagi hasil.
• Besarnya dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
• Besarnya berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
• Bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
• Pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan.
Dewan Pengawas
• Pada bank konvensional tidak terdapat dewan pengawas.
• Pada bank syariah terdapat dewan pengawas yang bertugas mengamati dan mengawasi operasional bank dan semua produk-produknya sesuai dengan syariat islam.
Lembaga Penyelesai Sengketa
• Jika terdapat permasalahan pada bank konvensional penyelesaiannya dilakukan di pengadilan negeri atau berdasarkan hukum negara.
• Jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di pengadilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum syariah.
Ikatan dengan Nasabah
• Pada bank konvensional hubungan dengan nasabah bersifat kredutur-debitur
• Pada bank syariah ikatan dengan nasabahnya bersifat kemitraan
K. Asuransi syariah
Pada dasarnya asuransi syariah tidak bertentangan dengan islam. Karena salah satu tujuan dasar dari syariat islam adalah memelihara harta dan keluarga dari kehancuran, kemusnahan dan kehilangan. Dan asuransi syariah sangatlah tepat dalam konsep pemeliharaan terhadap jiwa, harta dan keluarga.
Dari Abu Musa r.a. dia berkata. Rasulullah SAW bersabda,”sesungguhnya Marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya ada yang menjadi janda karena ditinggal suami (yang meninggal) di peperangan, ataupun ada keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.”(HR. Bukhari).
Fatwa Tentang Asuransi Syariah
Islam tidak melarang manusia memiliki asuransi. Asuransi diperbolehkan asalkan dana yang terkumpul dikelola sesuai dengan syariat-syariat Islam. Hal ini disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO : 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman asuransi syariah. Fatwa tersebut memuat tentang bagaimana asuransi yang sesuai dengan syariat agama islam.
Berikut ringkasan pandangan MUI terhadap asuransi yang perlu diketahui :
Bentuk Perlindungan
Dalam kehidupan, kita memerlukan adanya dana perlindungan atas hal-hal buruk yang akan terjadi. Hal ini ditegaskan oleh fatwa MUI NO : 21/DSN-MUI/X/2001 menyatakan, “Dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini”. Salah satu upaya solusi yang bisa dilakukan adalah memiliki asuransi yang dikelola dengan prinsip-prinsip syariah. Iktiar/usaha ini juga merupakan pengamalan dari perintah Allah SWT dalam firmanNya,”dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir tehadap (kesejahteraannya)”. [QS An-Nisa : 9].
Ayat ini juga sekaligus menjawab pola berfikir yang salah dari sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa bolehnya mengumpulkan dana untuk saling membantu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum asy’ariyyiin dikarenakan terjadi peristiwa terlebih dahulu.
Logika berfikir seperti ini sangatlah naif dan sangat bertentangan dengan firman Allah dalam [QS An-Nisa : 9] dan bertentangan juga dengan hadis sohih yang diriwayatkan oleh sahabat Sa’ad bin Abi Waqqos dimana Nabi SAW berpesan kepadanya,”sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu (kaya) lebih baik bagimu daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan lemah (miskin) meminta-minta kepada manusia (lainnya)”. [HR. Bukhari].
Unsur Tolong menolong
Semua ajaran agama yang ada pasti mengajarkan sikap tolong-menolong terhadap sesama. Dalam kehidupan sosial tolong-menolong dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara finansial maupun kebaikan. Fatwa MUI NO : 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan di dalam asuransi syariah terdapat unsur tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah. Hal ini sesuai dengan firman Allah,”… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan….”. [QS A-Maidah : 2]
Unsur Kebaikan
Dalam setiap produk asuransi syariah mengandung unsur kebaikan atau istilahnya memiliki akad tabbaru’. Secara harfiah, tabbaru’ dapat diartikan sebagai kebaikan. Aturannya, jumlah dana kontribusi/premi yang terkumpul disebut hibah bissyarthi (pemberian dengan persyaratan) yang nantinya akan digunakan untuk kebaikan, yakni klaim yang dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian. Perlu ditegaskan bahwa akad hibah dalam asuransi syariah adalah hibah bissyarthi (pemberian dengan persyaratan yang berlaku) bukan hibah mutlaq (dimana hibah/pemberian yang diberikan kepada orang lain tidak boleh diambil kembali), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW,“Orang yang menarik kembali hibahnya (pemberiannya) seperti anjing yang memakan kembali muntahannya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Adapun besarnya kontribusi/premi dapat ditentukan melalui rujukan yang ada, misalnya merujuk pada tabel mortalita untuk menentukan kontribusi/premi pada asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk menentukan kontribusi/premi pada asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.
Berbagi Risiko dan Keuntungan
Dalam asuransi yang dikelola secara prinsip syariah, risiko dan keuntungan dibagi rata ke orang-orang yang terlibat dalam investasi. Hal ini dinilai cukup adil dan sesuai dengan syariat agama karena menurut MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari keuntungan komersil.
Risiko yang dimaksud adalah risiko yang terjadi pada salah satu peserta asuransi yang terkena musibah, maka ganti rugi (klaim) yang didapat dari peserta asuransi yang lain. Dengan kata lain, saat seorang peserta mendapat musibah peserta lain juga ikut merasakannya. Begitu juga dengan keuntungan yang didapat. Dalam asuransi syariah keuntungan/surplus underwriting yang didapat dari hasil investasi kontribusi/premi dalam akad mudharabah dapat dibagi-bagikan kepada peserta asuransi dan tentu saja disisihkan juga untuk perusahaan yang mengelola investasi. Hal ini juga ditegaskan dalam POJK No 72/ POJK.05/2016 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, BAB III Surplus Underwriting, Pasal 6, Ayat 1.
Bagian dari Bermuamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antar manusia. Contoh hubungan yang diatur dalam islam adalah jual beli dan perdagangan. Hal tersebut juga menjadi landasan dari asuransi syariah. Menurut MUI asuransi juga termasuk bagian dari bermuamalah karena melibatkan manusia dalam hubungan finansial. Segala aturan dan tata caranya tentu saja harus sesuai dengan syariat islam. Jadi dalam berpartisipasi dalam bermuamalah, Anda dianggap ikut serta dalam menjalani perintah agama.
Akad dalam Asuransi Syariah
MUI juga menegaskan aturan akad yang digunakan dalam asuransi. Hal ini sebagai langkah antisipasi dari kesalah fahaman sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa terjadinya dua Akad dalam satu jual beli dalam asuransi syariah.
No comments:
Post a Comment