Makalah Biografi Cut Meutia
Nama: Tjoet Nyak Meutia
Lahir: 1870, Kesultanan Aceh
Meninggal: 24 Oktober 1910, Aceh
Kebangsaan: Indonesia
Anak: Teuku Raja Sabi
Pasangan:
Teuku Muhammad (m. ?–1905)
Pang Nanggroe (m. ?–1910)
Orang Tua:
Teuku Ben Daud Pirak (ayah)
Cut Jah (ibu)
Agama: Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perang Aceh yang terjadi dari tahun 1873 sampai 1904 yang ditandai dengan menyerahnya Kesultanan Aceh menjadi salah satu perlawanan yang cukup sengit melawan kolonial Belanda pada saat itu. Perebutan wilayah Aceh oleh Belanda dan rakyat Aceh yang tidak rela wilayahnya dikuasai oleh Belanda menjadi faktor utama perlawanan di Aceh. Banyak rakyat yang gugur dalam perlawanan tersebut termasuk para pemimpin perlawanan seperti Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan masih banyak lagi.
Namun makalah ini akan lebih dmenjelaskan tentang perlawanan rakyat Aceh dengan Belanda yang dilakukan oleh wanita-wanita perkasa salah satunya yaitu Cut Meutia. Dimana Cut Meutia ini adalah seorang wanita yang berani dan ikut dalam melawan Belanda bersama dengan Suami dan teman-teman mereka. Perjuangan wanita dalam perang adalah sesuatu yang tidak biasa. Perang biasanya dilakukan oleh laki-laki yang memang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada wanita. Tetapi dalam perang Aceh ini wanita menjadi salah satu kekuatan yang tidak kalah dari laki-laki. Tidak hanya menjadi prajurit perang, Cut Meutia juga menjadi pemimpin perang melawan Belanda.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, rumusan masalah yang dapat ditulis yaitu :
1. Bagaimana biografi Cut Meutia?
2. Bagaimana perjuangan Cut Meutia melawan Belanda?
3. Bagaimana kepemimpinan Cut Meutia dalam perang?
4. Bagaimana masa akhir hayat Cut Meutia ?
C. Tujuan
Tujuan makalah ini disusun yaitu untuk mengetahui bagaimana biografi dan perjuangan seorang Cut Meutia sebagai seorang wanita melawan kolonial Belanda dari awal berjuang bersama suami hingga menjadi pemimpin perang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Cut Meutia
Cut Meutia atau Cut Nyak Meutia lahir tahun 1870 di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara. Orang tuannya bernama Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya dalam keluarga tersebut. Keempat saudaranya semua laki-laki. Ayahnya seorang ulee balang[7] di desa Pirak, daerah Keureutoe.
Ketika dewasa Cut Meutia menikah dengan Teuku Samsyarif dengan gelar Teuku Chik Bintara. Namun Teuku Samsyarif berwatak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan pihak Belanda. Akhirnya Cut Meutia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Teuku Samsyarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong.
B. Perjuangan Cut Meutia Melawan Belanda
1) Bersama Teuku Chik Tunong
Pergerakan dimulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan di Krueng Pasai, Aceh Utara. Di bawah komando Teuku Chik Tunong mereka mematai-matai gerak-gerik tentara lawan terutama rencana patroli dan pencegatan sehingga lokasi patroli Belanda segera dapat diketahui. Juni 1902 karena informasi pengikutnya, Teuku Chik Tunong berhasil mengalahkan seorang pimpinan dan 8 pasukan Belanda.
Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim, Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan Aceh untuk mencegat pesukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang menyintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslim dapat merebut 5 pucuk senapan[8].
November 1902 jebakan kabar burung yang disusun oleh Cut Meutia berhasil dilakukan oleh Chik Tunong dan pasukannya yang menewaskan Letnan De Cok dan 28 prajuritnya serta 42 pucuk senapan diperoleh kaum muslimin. Selain itu pasukan Cut Meutia juga sering menyabotase kerta api, penghancuran hubungan telepon hingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda.
9 Januari 1903, Sultan bersama dengan Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Kumala dan beberapa pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Atas dasar tersebut Cut Meutia dan Teuku Chik Tunong pun juga ikut turun tanggal 5 Oktober 1903. Kemudian mereka tinggal di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang yang kemudian pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu atas persetujan Komandan datasemen Belanda di Lhokseumawe.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad atau Chik Tunong dengan Cut Meutia yaitu ketika peristiwa di Meurandeh tanggal 26 Januari 1905. Pembunuhan pasukan patroli Belanda di Meunasah Meurandeh Paya. Menurut penyelidikan Belanda bahwa Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan tersebut. Akhirnya Teuku Chik Tunong ditangkap dan dihukum tembak mati. Sebelum mati, Teuku Chik Tunong memberikan wasiat kepada sahabatnya untuk menjaga Cut Meutia dan putranya yaitu Teuku Raja Sabi. Hukuman tersebut dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi Pantai Lhokseumawe dan kemudian di jenazah Chik Tunong di makamkan di Masjid Mon Geudong.
2) Bersama Pang Nanggroe
Ketika Cut Meutia ditinggal wafat oleh Teuku Chik Tunong, ia sedang hamil tua. Baru setelah melahirkan ia mendapat kabar bahwa suaminya telah wafat ditembak mati oleh Belanda. Keadaan Cut Meutia pada saat itu sedang sakit parah karena kehabisan darah setelah melahirkan. Jadi perjuangan bersama Pang Naggroe dilakukan setelah Cut Meutia sehat kembali seperti semula. Dalam proses penyembuhan tersebut Pang Nanggroe juga menikahi Cut Meutia karena wasiat yang telah diberikan oleh sahabatnya. Dengan perkawinannya, wanita ini bagaikan meneruskan obor perlawanan kepada Nanggroe.[9] Beberapa waktu kemudian keadaan Cut Meutia sudah sehat dan siap untuk perang bersama suaminya melawan Belanda.
Di pihak Belanda mendatangkan pimpinan Marsuse yang kejam dan tidak berperi kemanusiaan, namanya yaitu Kapitan Christoffel. Pasukan Belanda diperkuat dan penjagaan disetiap pelosok yang selama ini menjadi daerah pertempuran antara mereka dengan barisan muslimin[10]. Karena hal tersebut banyak umat muslimin yang syahid dalam peperangan. Namun Pang Nanggroe tetap utuh dalam kepemimpinannya meskipun sedikit kenunduran.
Suasana perjuangan kaum muslimin semakin terdesak karena pasukan Belanda yang dipimpin oleh Christoffel. Siapa pun orang muslim yang ditemuinya langsung di tembak di tempat. Namun Pang Nanggroe dan Cut Meutia tetap berada di garis depan untuk melawan Belanda. Putranya selalu berpindah-pindah tempat sembunyi supaya tidak terjebak oleh patroli marsuse.
Pada siang hari dimana sedang duduk-duduk di suatu pondok, Pang Nanggroe, Cut Meutia dan Teuku Raja Sabi beserta wanita dan laki-laki yang lain, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dari musuh. Akhirnya mereka melarikan diri satu sama lain, ada pula yang melepaskan tembakan kepada musuh. Pang Nanggroe dan Teuku Raja Sabi tetap berada di tempat. Sedangkan Cut Meutia bersama kaum wanita yang lain ikut berlari ke hutan dan mencari tempat yang lebih aman.
Saat itu Pang Nanggroe, Teuku Raja Sabi dan beberapa pengikutnya yang masih bersama mereka berhadapan melawan Belanda. Karena tenaga yang tidak seimbang antara tentara Belanda dan pasukan Pang Naggroe akhirnya banyak yang gugur. Pang Nanggroe juga akhirnya terkena peluru musuh. Peristiwa ini menurut catatan buku “Peringatan 50 tahun marsuse” adalah pada tanggal 26 September 1910.[11]
Dalam keadaan berlumuran darah, Pang Nanggroe memanggil putranya yaitu Teuku Raja Sabi yang berada disampingnya. Beliau menyuruh untuk mengambil rencong yang ada di pinggangnya dan ikat kepala yang dipakainya kemudian lari menyusul ibunya. Setelah mengatakan hal tersebut kepada putranya tiba-tiba tiga orang musuh mendekat. Tuaku Raja Sabi kemudian melarikan diri meninggalkan Pang Nanggroe.
Karena bingung kemana Teuku Raja Sabi akan melarikan diri dan musuh semakin dekat, akhirnya ia naik pohon dan berdiam disana beberapa waktu. Setelah musuh menjauh ia turun dan berjalan ke tempat pondok yang ditinggali tadi. Disana ia bertemu dengan beberapa teman. Teuku Raja Sabi menanyakan kepada mereka dimana ibunya. Mereka menjawab ibunya sudah lari jauh dan mereka bersama Tuanku Raja Sabi akan menyusulnya.
C. Perjuangan Cut Meutia Melawan Belanda Sebagai Pemimpin Perang
Setelah berjalan beberapa lama kemudian malam hari Teuku Raja Sabi bertemu dengan Cut Meutia bersama rombongan yang lain. Pagi harinya kaum muslimin yang bersama Cut Meutia dan Tuanku Raja Sabi sepakat kepemimpinan perang digantikan oleh Cut Meutia dan beliau menerimanya dengan syarat jika ia kurang sempurna agar cepat ditegur sehingga segala urusan dapat berjalan dengan lancar. Alasan mereka para pengikut Cut Meutia memilih Cut Meutia sebagai pemimpin menggantikan suaminya yang telah gugur tidak hanya melihat Cut Meutia sebagai mantan istri seorang pejuang dengan pengalaman berperang yang sudah cukup banyak tetapi juga semangat Cut Meutia yang sangat besar dalam berjuang melawan pasukan Belanda walaupun dia seorang wanita. Jika dikaitkan dengan tipe kepemimpinan menurut Max Weber, seorang Cut Meutia termasuk tipe pemimpin karismatik karena pengalamanya dan semangatnya dalam perang dapat mempengaruhi teman-teman dan pengikutnya untuk ikut berperang dan pantang menyerah terhadap Belanda.
Setelah selesai menentukan pemimpin perang, mereka lalu berencana untuk pindah ke Gayo. Untuk pergi ke sana mereka harus keluar masuk hutan dan naik turun gunung. Sampai akhirnya mereka sampai di tempat yang dangkal. Mereka beristirahat dan menanak nasi untuk makan siang. Belum sempat mereka makan tiba-tiba datang patroli musuh. Teuku Raja Sabi yang berada kira-kira seratus meter dari tempat ibunya, mendengar teriakan bahwa musuh datang. Keadaan menjadi kacau. Diantara mereka ada yang melarikan diri, ada pula yang tetap berada disana.
Cut Meutia berusaha memanggil putranya sehingga ia lupa untuk melarikan diri. Tuanku Raja Sabi dibawa oleh seorang muslimin dan secepat mungkin melarikannya. Tinggalah Cut Meutia, Teungku Seupot Mata dan 15 orang lainnya. Perang mulai terjadi antara pihak Belanda dan kelopok dari Cut Meutia. Dari peperangan tersebut Cut Meutia terkena peluru di kakinya. Di saat genting itu ia juga sempat membisikkan sesuatu kepada teman yang berada disampingnya yaitu Teungku Syaikh Buwah bahwa ia diminta untuk mencari dan menjaga putranya dengan baik. Kemudian Teungku Syaikh Buwah langsung pergi mencari Tuanku Raja Sabi. Cut Meutia gugur karena terkena peluru pasukan Sersan W. J. Mosselman.[12] Teungku Seupot Mata dan lima belas orang pengikutnya juga wafat dalam pertempuran tersebut. Perjuangan Cut Meutia berakhir bersama dengan beberapa pengikutnya yang menjadi korban pula.
Cut Meutia sebagai pelopor dan pemimpin perjuangan mampu mengalahkan pasukan Belanda bersama dengan teman-teman dan pengikut-pengikutnya walaupun pada akhirnya beliau dan banyak dari teman dan pengikutnya gugur dalam peperangan. Namun yang patut di teladani adalah sikap pantang menyerahnya yang sangat besar, keberaniannya sebagai pemimpin perang dan pengatur strategi dan siasat yang sangat cerdik.
Perjuangan Cut Meutia bersama dengan pahlawan-pahlawan lain dalam melawan Belanda memang sangat berat. Dengan alat perang yang sederhana dari pihak penduduk dan jumlah pasukan yang tidak tentu besarnya mereka harus berhadapan dengan sekelompok pasukan Belanda dengan senjata yang modern dan lengkap serta pasukan yang cukup banyak dan kuat untuk dilawan. Beberapa kali mengalami kekalahan dan kehilangan banyak pasukan namun tidak sedikit pula memenangkan perang dan merampas senjata dari pihak Belanda yang kalah. Semangat mereka pantang menyerah untuk melawan Belanda. Mereka tidak menginginkan tempat tinggal mereka dikuasai oleh Belanda. Mereka berkata bahwa lebih baik mati syahid daripada harus menyerah kepada “kaphe”[13] Belanda.
BAB II
METODOLOGI
Jalannya gerakan sosial dapat diungkapkan berdasarkan kondisi struktural sosial budaya yang mendorong munculnya gerakan, adanya ketegangan sosial, pertubuhan dan perkembangan serta pranata kepercayaan yang sebagai dasar gerakan, faktor pencetus gerakan dan mobilisasi pengikutnya. Kondisi masyarakat yang tertindas karena adanya kekuasaan dari pihak lain menjadi salah satu dorongan yang kuat serta tujuan untuk melakukan gerakan.
Penulisan makalah ini menggunakan metode penelitian sejarah yang bertujuan untuk dapat memahami dan merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan obyektif. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, dimana arti dari sosiologis itu sendiri yaitu ilmu yang mempelajari tentang interaksi manusia dengan manusia lain, individu dengan individu lain, individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat dan organisasi dengan organisasi lain.[1]
Pendekatan sosiologis digunakan dalam menganalisa peristiwa-peristiwa historis yang dikaji yaitu segi-segi sosialnya. Studi sejarah menggunakan pendekatan sosiologis dikatakan sebagai Sejarah Sosial. Materi yang ditulis dalam makalah ini menggunakan pendekatan sosiologis dengan konsep pokoknya yaitu seks dan gender. Dimana peran wanita dalam perlawanan menjadi perhatian yang lebih besar karena peran tersebut biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Pengertian “perjuangan” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah perkelahian (merebut sesuatu); usaha yang penuh dengan kesukaran dan bahaya; salah satu wujud interaksi sosial termasuk persaingan, pelanggaran dan konflik[2]. Pengertian lain menjelaskan bahwa perjuangan adalah usaha untuk meraih sesuatu yang diharapkan demi kemuliaan dan kebaikan atau dalam masa penjajahan, perjuangan adalah segala usaha yang dilakukan untuk memperoleh kemerdekaan[3]. Menurut Susanto Tirtoprojo (1982: 7), yaitu perjuangan memiliki arti luas, sehingga apa yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan di Nusantara merupakan peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional Indonesia[4]. Sedangkan Kansil dan Yulianto berpendapat bahwa mereka membedakan antara “perjuangan” dan “pergerakan”. Pergerakan mempunyai arti yang khas, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur (Kansil dan Yulianto, 1988: 15). Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka menganggap jika perjuangan masih menggunakan cara tradisional dan belum ada organisasi yang mengatur sebagaimana “pergerakan”[5].
Pengertian kepemimpinan menurut Tead, Terry, dan Hoyt (dalam kartono, 2003) adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan yang diinginkkan kelompok. Sedangkan menurut Young, pengertian kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus[6].
Beberapa tipe kepemimpinan yang dikemukakan oleh Max Weber antara lain :
1. Tipe Tradisional yaitu kepemimpinan yang berlandaskan pada tradisi yang sudah ada.
2. Tipe Karismatik yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada mutu tertentu yang terdapat pada pribadi seseorang yang tidak setiap orang memilikinya.
3. Tipe Legal-Rasional yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat aturan resmi dan diatur secara impersonal.
Lebih jauh lagi makalah ini akan menjelaskan tentang bagaimana perjuangan seorang wanita yaitu Cut Meutia dalam perlawanan di Aceh melawan Belanda. Seorang wanita keturunan orang terpandang di daerahnya bersedia ikut turun dalam perang melawan Belanda bersama dengan suami dan teman-teman seperjuangannya sampai titik darah penghabisan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Cut Nyak Meutia adalah satu-satunya anak wanita dari lima bersaudara dari pasangan Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Perjuangan Cut Meutia dimulai setelah beliau menikah dengan Teuku Chik Tunong atau Teuku Chik Muhammad. Beliau adalah seorang yang pemberani dan cerdik. Setelah menikah dengan Teuku Chik Tunong semangat Cut Meutia untuk menghadapi Belanda semakin Besar. Perjuangan mereka berdua berhenti ketika Tuanku Chik Tunong ditangkap Belanda karena terlibat pembunuhan pasukan Belanda. Setelah ditangkap Teuku Chik Tunong kemudian dihukum mati. Sebelum mati, beliau memberikan wasiat kepada sahabatnya agar menjaga Istrinya Cut Meutia dan Putranya yaitu Tuanku Raja Sabi.
Perjuangan kedua Cut Meutia dilakukan bersama dengan suami keduanya yaitu Pang Nanggroe. Walaupun ia tidak memiliki keturunan bangsawan namun keberaniannya cukup besar dalam menghadapi Belanda hingga suatu hari patroli Belanda yang tidak diduga datang ke tempat persembunyian mereka. Di sana lah kemudian Pang Nanggroe dan beberapa pasukan yang bersamanya gugur. Cut Meutia pergi bersama para wanita dan pasukan lain untuk menyelamatkan diri.
Perjuangan Cut Meutia belum berhenti. Setelah Cut Meutia diangkat sebagai pemimpin perang, mereka melanjutkan perjalanan ke Gayo. Di tengah perjalanan saat mereka istirahat, tiba-tiba datang pasukan patroli Belanda. Cut Meutia bersama beberapa pasukan yang masih ada melawan pasukan tersbut. Dalam situasi tersebut pula beliau meminta teman yang berada disampingnya untuk mencari putranya dan menjaganya. Kemudian gugurlah Cut Meutia dalam perlawanan tersebut bersama dengan beberapa pengikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
denrabani. 2013. Pengertian Kepemimpinan, Tipe-tipe Kepemimpian dan Teori-teori Kepemimpinan.dikutip dari
laman http://adenrabani.wordpress.com/2013/11/13/pengertian kepemimpinantipe-tipe-kepemimpinan-teori-teori-kepemimpinan/, waktu akses 15 november 2014 pukul 06.40 WIB.
Ibrahim, Alfian. 1987. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ismail, Yakub. 1879. Cut Meutia: Pahlawan Nasional dan Putranya. Semarang: CV. Faizan.
KBBI (versi online/ dalam jaringan). 2012. Juang. Dikutip dari laman “http://kbbi.web.id/juang”, waktu akses 4 januari 2105 pukul 22.26 WIB.
Paul, Van ‘T veer. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers.
Putra Wahyuza. 2011. Pendekatan Sejarah 2. Dikutip dari laman “http://putrawahyuza.blogspot.com/2011/10/1-pendekatan-sejarah-2-pendekatan.html, waktu akses 2 November 2014 pukul 22.47 WIB.
Yudi, Setianto. 2011. Konsep Perjuangan Dalam Dimensi Sejarah Nasional Indonesia. dikutip dari laman
“https://asosiasiwipknips.wordpress.com/2011/10/24/konsep-perjuangan-dalam-dimensi-sejarah-nasional-indonesia/”, waktu akses 4 Januari 2015 pukul 23.01 WIB.
Zuheimi Aceh. 2010. Cut Nyak Meutia. Dikutip dari laman”http://zuheimiaceh.blogspot.com/2010/11/cut-nyak-mutia.html”, waktu akses tanggal 2 November 2014 pukul 20.00 WIB.
No comments:
Post a Comment