Thursday, 27 February 2020

KUMPULAN CERPEN

KUMPULAN CERPEN




Mengayam Kesabaran
Asma Nadia

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45. Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya. Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa membangunkan aku.Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa. Kututup perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali. "A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama. Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh. Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku. Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika. Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya. Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun seketika dan menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu. "Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa. Aa bangkit dari tidurnya. "Hmm..,"gumamnya masih ogah-ogahan. "Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar mandi.

Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al Quran dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama tilawahku. Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa. "De..! Sudah nggak papa perutnya..? Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.." "Nggak, udah nggak papa, kok, "sahutku.

Kemarin memang hari di mana aku harus pergi ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin tiap bulan. Sebelum memasukkan alat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut. "iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan saja...)" Dokter Abe tertawa. "Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)" Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur. "Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!" Kata dokter Abe bergegas keluar. Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan rasanya. 

Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat lagi membuat makan malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur Aa sendiri yang memasak makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati. 

"Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu tertangkap basah dalam keadaan bengong. "Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya jauh lebih enak dari buatanku. Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana, sedang Aa ke kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik. "Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah.



"Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari ini, seminar saja. Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan kekhawatiran Aa. "Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!" Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa hilang di pintu stasiun.

Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga, dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak.Tidak, itu tak pernah mengguncangkan bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami. Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak mempunyai siklus bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsiku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.

Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan.. Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan. ****

Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasakan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan melalui TV dan majalah berbahasa Inggris-Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga, yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar kecenderunganku tersebut.

Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya. Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi graduate di universitas yang sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.

Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku atau



Aku akan berguman. "lucunya.." "A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?" Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..

Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa-sisa musim dingin masih tertinggal. Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika bukan berita baik yang kudapat. Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan kudengar namaku dipanggil. "Aya-san!" Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa. "Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas. Dan.."Omedetou gozaimasu..!(selamat..)" aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan yang luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerongkongan."Positif..,"kata dokter Abe melanjutkan. Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha Besar Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku bertasbih dan bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca. "Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala puji bagi Engkau...

Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku masak soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."

Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin di perutku baru dua bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan. Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari ku tak pernah kulewatkan tanpa walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan "mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas "bicara" dengan si kecil.

Sampai saat itu... Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah 10 pekan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin sudah bisa dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain... "Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?" Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku. "Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku. "Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"

Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu. Janinku tidak berkembang! Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak meracuni rahimku.Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan tangis. Ya Allah. Kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih.Mengapa dia Kau panggil tanpa sempat


kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan, "Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.

Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku atas taqdir Allah. Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan, tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya untuk lebih lama berdiam dalam perutku? Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni aku.Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang menandatangani formulir operasi buatku.

Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti pada tubuhku. Tapi tidak demikian pada hatiku. Aku merasakan kesendirian ketika kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.

Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah itu pertama kali kami shalat berjamaahan sejak aku mengungsi di rumah sakit. Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153. Dan suara Aa bergetar ketika mencapai: .... Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin Alladziina idzaa ashabathum mushibah, qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun.Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah. Wa ulaaika humul muhtadun... ...

(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka berucap: Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ...)

Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu. Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat tersebut. Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib , lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku. Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya. Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya. "Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata cekung Aa dipenuhi oleh kaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.

Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami, agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan yang lebih berat lagi.



Ranggalwae Gugur
Chairil Anwar

Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.
”Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.” Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.

Lalu pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk menyampaikan simpati -sejumlah puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya -tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa. Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan ketoprak tobong yang tersisa.
Ratu Kencana Wungu duduk di atas singgasananya. Kursi kayu bercat merah yang terlambat dibawa masuk ke panggung. Kelihatan karena tak ada layar untuk menutup pergantian. Semuanya diputuskan untuk dibuka malam itu. Termasuk kegagalan mereka untuk bertahan sebagai seniman. Kencana Wungu lantas menembang menyapa yang datang. Patih Logender duduk di hadapannya, manggut-manggut menerima kenyataan bahwa suara Kencana Wungu terlalu lirih untuk sebuah pertunjukan di tengah lapang. Yang riuh rendah oleh suara kendaraan dan pasangan-pasangan muda yang pacaran di atas sepeda panjang. Rarasati si Patih Dalam tak kebagian kursi. Ia berdiri saja di samping Kencana Wungu. Sementara para ksatria duduk di bawah, bersesakan dan saling menutupi: Layang Seta, Layang Kumitir, Menak Koncar, dan beberapa prajurit tanpa nama alias bala depak yang senantiasa terdepak. Panggung sudah terlalu sempit untuk menampung tubuh-tubuh mereka. Negeri dalam keadaan baik-baik saja, demikianlah yang kutangkap samar-samar dari percakapan mereka. Rakyat hidup makmur kerta raharja. Tak kurang suatu apa. Mereka tampak gembira dengan sandiwara itu. Bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Patih Logender memamerkan kesaktian sepasang anaknya, Seta dan Kumitir. Hanya Adipati Tuban, Ranggalawe, yang tak kelihatan batang hidungnya. Adipati paling sakti itu konon sedang bertapa di rumahnya. Mungkin pula tak punya ongkos berangkat ke Majapahit. Bisa saja.
Kulihat ke belakang. Cukup banyak juga yang datang. Orang-orang yang sekadar lewat. Atau sejumlah orang yang melayat. Kabar kematian kelompok ini memang sudah disebar di koran-koran dan facebook. Seorang anak kecil yang duduk di belakangku bertanya pada bapaknya. Itu apa? Ketoprak, jawab bapaknya. Lalu Menak Jingga di samping panggung memukul kepraknya. Rupanya malam itu ia merangkap sebagai dalang sekaligus tukang keprak. Bunyi keprak itu membangunkan Angkat Buta yang sejak awal tiduran di belakang gamelan. Ia pun bergegas masuk ke dalam panggung untuk menyampaikan pesan junjungannya, Menak Jingga. Si Adipati buruk rupa itu menagih janji sang Ratu Ayu. Dulu semasa ia masih bernama Jaka Umbaran yang berwajah tampan ia pernah dijanjikan untuk mendapatkan Kencana Wungu jika berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, pemberontak yang sakti mandraguna. Sang pemberontak berhasil dikalahkan, tapi Jaka Umbaran terpaksa pulang dengan wajah dan tubuh babak belur. Jika tak ada Dayun yang menolong mungkin ia sudah lama mati.


Rarasati merobek-robek surat itu. Layang Seta dan Layang Kumitir tanpa perintah selain karena pongah menghajar utusan dari Blambangan itu. Angkat Buta berlari ke alun-alun. Angkat Buta selalu menantinya di sana selama bertahun-tahun. Perang tak terhindarkan. Gantian para bala dupak mendapatkan ruang. Dengan gagah berani mereka berperang. Melakukan adegan-adegan berbahaya. Beberapa kali mereka terlontar ke luar panggung. Terkapar di tanah lapang lalu dengan cepat bangun lagi mengejar sang lawan. Ada juga prajurit yang kedua tangannya buntung. Ialah yang paling kerap terlontar keluar panggung. Penonton terbahak dan bersorak meski adegan perkelahian ini sama sekali tak menawan. Ada pula yang malah jatuh kasihan.
Bisa ditebak, mereka telah mengulanginya beratus kali, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah. Logender menolongnya dan membiarkan utusan-utusan Blambangan itu pulang.
Di Lumajang enam perempuan menari-nari. Menari sejadi-jadinya.
Mas mas mas aja diplerok (Mas mas mas jangan dipelototin)
Mas mas mas aja dipoyoki (Mas mas mas jangan digodain)
Karepku njaluk diesemi 2 (Pinginnya minta disenyumin)
Ruang pecah berkeping-keping. Mereka menyebar ke segenap penjuru membawa piring. Mendatangi penonton satu per satu, menjual cendera mata: gantungan kunci bertuliskan Ketoprak is the place where we live and where we die… berlatar orang sendirian mendirikan atap tobong di langit yang biru cerah. Mereka terus beredar dalam kegelapan. Ada pula yang membawa bonang dan meminta uang. Lagu berlanjut. Apa saja yang penting berirama dangdut. Beberapa penonton naik ke panggung dan bergoyang. Lalu lampu tiba-tiba mati. Gamelan terus dibunyikan. Lagu terus dinyanyikan. Beberapa orang tampak sibuk mencari kesalahan. Menyusuri kabel demi kabel. Memeriksa bensin di dalam generator. Berkali-kali mereka pernah mengalaminya, mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Berkali-kali mereka ngebut di jalanan masih dengan pakaian wayang untuk membeli bensin agar pertunjukan tetap bisa dilanjutkan. Alhamdulillah, lampu mati tak lama. Lampu yang semenjana itu menyala kembali. Perempuan-perempuan itu sudah kembali ke panggung dan menjadi istri-istri dari Adipati Menak Koncar. Lalu adegan domestik di tengah lapangan, bocor-bocor tak karuan. Percakapan yang lamat-lamat itu terus berlangsung hingga Menak Jingga menabuh keprak untuk menandai kedatangannya sendiri. Ia masuk ditemani Dayun, abdinya yang setia.

Menak Koncar menyambutnya dengan hangat meski tahu tak berapa lama lagi mereka akan bertengkar dan ia akan kehilangan Mentarwati, istrinya yang pertama. Pertengkaran dimulai ketika Menak Jingga meminta bantuan Menak Koncar untuk mengawinkannya dengan Kencana Wungu. Menak Koncar meledak marah. Ia tak sanggup membayangkan ratunya yang jelita bersanding dengan manusia buruk rupa. Mentarwati bersedia mencarikan jodoh untuk Menak Jingga. Tapi Menak Jingga keras kepala. Sambil menyembah-nyembah kaki Mentarwati, Menak Jingga terus menyebut-nyebut nama Kencana Wungu. Mentarwati sebal dan memukul kepala Menak Jingga. Pertarungan kembali terjadi di atas panggung sempit itu. Kali ini yang tampil adalah prajurit-prajurit perempuan. Dengan gerak yang luar biasa kikuk -jangan dibayangkan pertarungan antara Lasmini versus Mantili dalam film Saur Sepuh– mereka saling pukul dan tusuk. Penonton yang jumlahnya sudah jauh berkurang kembali terbangun. Bertepuk tangan menyemangati pertempuran prajurit Lumajang dan Blambangan. Pertempuran itu berakhir dengan tewasnya Mentarwati. Menak Jingga menusuk tubuh perempuan itu berali-kali dengan kerisnya. Menak Koncar datang terlambat. Ia hanya mendapati tubuh istrinya yang dingin dan berlumuran darah. Ia menangis dan pelan-pelan mengangkat tubuh istrinya. Adegan yang direncanakan dramatis itu hancur berantakan. Menak Koncar ternyata tak kuat membopong tubuh perempuan itu. Makan nasi sehari sekali dengan selingan mie instan ternyata membuat Adipati Lumajang itu kekurangan tenaga. Tak ada yang datang membantunya. Penonton kembali bersorak. Mereka menyemangati Menak Koncar dengan tepuk tangan. Akhirnya dengan susah payah, juga didorong rasa malu, ia berhasil membawa istrinya keluar panggung. Dan buru-buru dijatuhkannya begitu sampai di tepian panggung.
Lalu lagu gembira mencoba membangkitkan suasana. Gending Badutan Sragen: Rewel. Omonga terus terang yen pancen kowe bosen. Ora perlu kakehan alasan… (Bicaralah terus terang jika kamu bosan. Tidak perlu banyak alasan…)

Seorang pelawak masuk ke panggung dan me­nari sekenanya. Ia pelawak karena kumisnya mirip Hitler. Entah sejak kapan pelawak-pelawak kita memakai kumis macam itu. Mungkin sejak mereka menonton Charlie Chaplin. Mungkin pula suatu kali seorang pelawak pendahulu secara tak sengaja mengusapkan jelaga di atas bibirnya. Lalu dua kawannya datang menyusul. Penonton menanti kelucuan apa yang akan mereka munculkan. Tapi tak ada. Mereka sudah terlalu lelah untuk mencari bahan lawakan. Mereka hanya bercanda tentang lapar. Mereka pura-pura makan sampai kenyang. Mereka memesan makanan-makanan terenak yang mereka impikan. Dua bungkus rokok dilemparkan kepada mereka. Seorang pelawak pun turun ke panggung, memungutnya. Ia melempar satu bungkus ke arah para penabuh gamelan. Di tengah mereka berkhayal makan sate kambing datang seorang penonton memberi amplop. Minta lagu Prau Layar, katanya. Am­plop itu pun dibuka. Berisi duit yang langsung me­reka hitung satu per satu. Lembaran-lembaran uang berwarna merah itu berjumlah tujuh lembar. Semua orang bertepuk tangan. Mungkin itu adalah saweran paling banyak yang pernah mereka dapatkan. Sayang mereka mendapatkannya di pertunjukan terakhirnya.

Malam ini mungkin mereka akan mendapat lebih dari 2.000 rupiah per orang, tidak seperti malam-malam biasanya. Mereka memanggil juragan mereka naik ke atas panggung. Sang juragan, lekaki berkaos hitam yang tadi membuka acara mengucapkan terima kasih atas bentuk simpati tersebut. Dan ia pun menyanyikan Caping Gunung karya maestro keroncong Gesang yang baru saja meninggal dunia. Para pelawak mengingatkan bahwa mereka seharusnya menyanyi Prau Layar. Tapi lelaki itu mungkin tak mendengarnya. Ia menyanyi Caping Gunung. Ia meminta para pelawak menari. Tapi tak ada yang menari. Setelah lagu selesai kembali ia mengulang kata pamitnya. Malam ini kami pamit mati. Seperti syair sebuah lagu, katanya. Lilanana pamit mulih… (Relakanlah aku pamit pulang…)

Lilanana pamit mulih (Relakan aku pamit)
Pesti kula yen dudu jodhone (Aku memang bukan jodohmu)
Muga enggal antuk sulih (Semoga segera mendapat ganti)
Wong sing bisa ngladeni slirane (Orang yang bisa mendampingimu)
Pancen abor jroning ati (Memang berat rasanya)
Ninggal ndika wong sing ndak tresnani (Meninggalkan orang yang kucintai)
Nanging badhe kados pundi (Tapi mau bagaimana lagi)
Yen kawula saderma nglampahi3 (Aku cuma sekadar melakoni)

Lelaki itu kemudian memanggil seorang tamu yang datang dari Jakarta. Seorang aktivis perempuan yang cantik. Ia meminta perempuan itu menyampaikan orasinya. Sang perempuan dengan berapi-api mengutuk kematian-kematian seni tradisi. Ia menyalahkan masyarakat yang tak lagi menghargainya. Ia menyalahkan pemerintah yang tak pernah merawatnya. Ia menyalahkan organ dangdut yang mematikan sawah para seniman tradisi. Lalu ia turun dan pertunjukan kembali berlangsung.
Malam sudah larut. Sebagian besar penonton sudah pulang. Sudah larut malam pula di Kadipaten Tuban. Sang Adipati Ranggalawe tengah bercakap-cakap dengan istrinya. Ia merisaukan keadaan Majapahit yang tak lagi tentram. Percakapan tampak dipercepat. Mungkin karena penonton yang semakin sedikit. Ranggalawe buru-buru ke sanggar pamujan. Berdoa dan membakar kemenyan. Ia bersila membelakangi penonton. Sebuah tembang palaran mengalun keras dari mulutnya. Menak Koncar datang menemuinya. Melaporkan kebrutalan Menak Jingga yang makin menjadi-jadi. Menak Koncar menangisi kematian istrinya, menangisi Lumajang yang sudah berada di genggaman Menak Jingga. Bergetar dada Ranggalawe mendengar tangisan Menak Koncar, kemenakannya. Segera ia memanggil Wangsapati ajudannya. ”Ambil Payung Tunggul Naga, malam ini aku akan berangkat ke Lumajang!”
Adegan pertemuan Ranggalawe dan Menak Jingga segera disusun. Menak Jingga menyambut kedatangan Ranggalawe dengan baik. Ia menghaturkan hormat pada orang yang paling disegani di Majapahit itu. Ranggalawe dengan tenang mendengarkan kisah Menak Jingga. Ia bisa mengerti perasaan Menak Jingga yang kecewa karena ditolak oleh Ratu Kencana Wungu. Dalam hal ini ia menyalahkan Kencana Wungu yang mengingkari


janjinya. Tapi ia juga mengutuk Menak Jingga yang telah membuat huru-hara di Majapahit. Maka, dengan segala hormat ia minta Menak Jingga menghentikan pemberontakannya. Menak Jingga menggelengkan kepalanya. Ia meminta maaf tak bisa menghentikan semuanya. Maka keduanya pun berhadapan.
Tak ada yang bisa menandingi kesaktian Ranggalawe selama Payung Tunggul Naga tetap memayunginya. Menak Jingga yang terdesak segera menghujani Wangsapati si pembawa payung dengan panahnya. Pengawal nahas itu pun terjungkal dengan beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ranggalawe terus maju. Ia tak peduli dengan apa-apa lagi. Kematian Wangsapati begitu melukai hatinya. Dengan cepat ia berhasil menangkap Menak Jingga. Ia injak kepala adipati yang berwarna merah itu. Menak Jingga tak bisa bergerak sama sekali. Ia bahkan harus merelakan Gada Wesi Kuning andalannya direbut oleh Ranggalawe. Tetapi saat Ranggalawe mengangkat gada itu tiba-tiba tubuhnya kaku. Ia mati. Tubuhnya tanpa Payung Tunggul Naga adalah tubuh paling lemah yang pernah ada. Ia kehilangan nyawa karena mengangkat Gada Wesi Kuning. Bidadari-bidadari dengan rambut panjang terurai segera berlari mengelilinginya. Menak Jingga me­me­rintahkan agar tubuh pahlawan itu dibawa pulang ke Blambangan. ”Makamkan ia dengan upacara kehormatan!”
Pertunjukan selesai. Pertunjukan terkahir mereka. Dengan cepat mereka mengemasi barang-barangnya dan pulang. Aku juga. Malam menunjuk pukul 12 tepat. Di jalan aku berpapasan lagi dengan mereka. Ranggalawe berjalan sendirian lengkap dengan pakaian kebesarannya. Beberapa pemain lain menyusul di belakangnya. Aku tak tahu ke mana mereka akan pulang malam ini. Tobong yang sudah 10 tahun mereka diami telah mengusir mereka. **


Bukan Mimpi yang Terpenggal


Aku membersihkan satu demi satu buku yang berjajar rapidi rak berwarna coklat dari kayu jati. Ada seruak  bangga menyusup di hati kecilku. Bayangkandari puluhan buku yang berbaris di rak itu, sebagian besar karyaku buah  imajinasiku baik berupa novel, antologicerpen hingga kumpulan esai. Yang sebagian besar pernah menghiasi berbagai media.Tiba-tiba ponselku berdering:
“Assalamu’alaikum” kata suara di ujung telepon.
“Wa’alaikumsalam”
“Mas Bayu, kami dari MJ Entertainment, bermaksud mengadaptasi novel Getar Kasih menjadi sebuah film"
“Tidakkah saya salah dengar?” tanyaku meyakinkan
“Serius Mas, boleh kan?”
“Oke. Asal tidak melenceng jauh dari versi novelnya”
“Terima kasih ya, nanti kami akan bersilaturahmi kerumah anda untuk pembahasan lebih lanjut"
   
Gubraks ….. tubuhku terlempar dari dipan reflek tanganku mencari, meraba,menggapai-gapai rak buku. Buku-buku karyaku, ponselku. Tapinihil, tak ada rak buku, novel dan antalogi cerpen hasil karyaku apalagi ponselterbaru. Yang ada cuma hanya sebuah novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya AhmadTohari, yang aku pinjam dari perppusda.

 Mimpikah aku? akutelah menginjakkan kaki di Jakarta?
  Aku telahjauh meninggalkan kota kecilku? tidak, aku tidakmimpi. Hari ini di pagi yang cerah, aku Bayu Samudra diundang suatu lembaga untuk mendapatkan penghargaan bergengsi. Dengan semangat empat lima akubergegas menuju lokasi dimana tempat pemberian anugrah untuk buku-buku yanglaris plus punya nilai terpuji itu dilaksanakan. Aku tak mau sampai terlambatkelokasi. Sesampainya disana, acara memang belum dimulai, tapi disana telahhadir hampir seluruh kandidat penerima penghargaan. Di sana kutemui wajah   AsmaNadia, Arswendo Atmowiloto, Afifah Afra, Tasaro, penulis adapula penulis cilikyang sekarang remaja Abdurahman Faiz

Sebelum aku jadi penulis aku suka karya-karya mereka daninspirasi untuk menulis dan menulis kerap aku dapat setelah aku mengakrabitulisan mereka. Asma Nadia akubelajar dari kumpulan cerpen berjudul Dialog Dua Layar,  Afifah Afra aku akrab lewat novelnya Bulan Mati di Javache Orange, Tasaro dengan Pitalokanya, Faizyang selalu bisa membuat mataku panasmenahan tangis aku kenal lewat buku untuk Guruku Matahari, Sinta Yudisia akukenal Indra Keenam.
Dulu, mereka bagiku sebagai mercusuar. Membayangkanbertemupun tak pernah terlintas dibenak. Eh, sekarang aku bersijajar denganmereka untuk mendapatkan penghargaan.

Sekali lagi aku bersyukur tinggal dirumah yang dekatdengan perpustakaan. Karena kalau tidak, darimana aku bisa membaca buku-bukumereka. Harga buku melangit sementara Emakku hanya buruh nyuci. Dariperpustakaan itulah aku mengakrabi tulisan-tulisan mereka yang ternyata tidakhanya bagus tetapi juga membuat aku terpecik untuk bisa menjadi penulis.

Tiba-tiba ada yang dingin membuat aku terjaga.Sekonyong-konyong aku bertenak memanggil nama Asma Nadia, Afifah Afra, Faiz, Tasaro,Sinta Yudisia, Mas Wendo dan Faiz. Tapi, mereka hilang, mereka menjauh, yangtersisa hanya lembaran folio, pulpen dan kumpulan cerpen Dialog Dua Layar karyaAsma Nadia yang lagi-lagi aku pinjam dari perpusda. Rupanya percikan itu bukanhanya percikan semangat dari penulis profitik tersebuttapi juga dan air yang dipercikan Emak kewajahku. Ini kebiasaan Emak kalau akususah dibangunkan.

“Ya Emak gak jadi deh Bayu  dapetin  penghargaan sebagai penulis terpuji” katakusambil menguap, menahan kantuk.
“ Penulis Terpujji opo?”
“Itu lho mak, penghargaan khusus bagi para penulis yangbukunya laris plus isinya bagus dan inspiratif.”

“Le…le..”Emak geleng-geleng kepala “Kamu ini,pelayan toko bangunan bukan penulis apalagi dapat apa tadi? Penghargaan PenulisTerpuji ? Wis ojo ngimpi sana wudhu, tahajud. Nanti waktu subuh keburudatang.”

Sejak Bapak tiada, Emak bekerja ekstra keras. Emakbangun pagi-pagi sekali. Disaat orang lain tertidur pulas berliau sudah beradadi dapur untuk memasak, dan menyiapkan dagangan. Emak memang berjualan nasilengko setiap pagi. Siang harinya setelah nasi lengkonya habis, Emak bekerja serabutan. Apa saja.  Mulai dari buruh nyuci, buruh tani, kadang kalaEmak diminta sinoman ke tetangga yang menggelar hajatan. Emak memangdianugerahi Allah tenaga yang kuat dan jarang sakit. Sehingga apapun Emaklakukan demi melihat aku terus sekolah .

Aku beruntung dilahirkan dari rahim Emak, meskipun iatidak bisa tulis alias buta huruf, ia selalu mendukung keinginanku untuk terusbersekolah, semangat Emaklah yang membuat aku terlecut untuk terus dan terussekolah meskipun untuk itu, aku sering malu, menahan tangis karena seringditegur guru karena sering telat membayar SPP.

Bagiku Emak adalah wanita terhebat dan terbaik di seluruhjagad raya. Emak tak pernah membentak apalagi memukul meski tak sakit. Padahalaku sering menunda apabila disuruh sesuatu oleh Emak, membantah apabiladiperintah karena keasyikan membaca buku.
Emak pula yang menguatkan aku ketika aku tak kunjungmendapatkan pekerjaan setelah lulus SLTA. Sudah menjadi rahasia umum angkakelulusan yang lebih besar tak sebanding dengan jumlah pangan kerja yangtersedia. Berkat Emak pula aku diterima sebagai pelayan toko besi dan bangunanyang kebetulan sering memakai jasa Emak

Waktu terus bergulir kini aku benar-benar jadi penulis,novel-novel, kumpulan cerpenku bertebaran di mana-mana, aku kerap jadi pembicaradi Talk Show kepenulisan, bahkan beberapa PH terkenal berniat mengangkat salahsatu novel Best Sellerku kedalam film dan sinetron. Tentu saja aku harus selektif aku tak mau aji mumpungseperti artis sinetron sekarang  yangbisa main 4 sinetron dalam waktu bersamaan, nyanyi, model iklan tapi beberapa tahun atau dalamhitungan bulan namanya hilang bakditelan bumi.

Entah karena jam terbang atau memang telah bosan denganmenulis yang sekedarnya, novel-novelku yang terbit belakangan menurut parakritikus semakin berbobot dan detail. Untuk sebuah novel aku memang selalumenyertakan segi sosiologi, antropologis sehingga cerita lebih  hidup.

            Karena novelterbaruku, malam ini aku berada di lobbi sebuah hotel berbintang untukberdiskusi, berdialog tentang Segi Sosiologi Sastra Indonesia. Tidaktanggung-tanggung aku bersebelahan dengan pendekar cerpen Hamsad Rangkuti, Jhoni Ariadinata, Helvi tiaana Rosa dan tentu saja Korrie Layun Rampan. Sedapat mungkinaku menahan butiran bening agar tidak sampai jatuh ke pipi. Siapa yang takbangga dan haru, aku anak desa, sekolah cuma SLTA disejajarkan denganpenulis-penulis hebat negeri ini. Nama mereka kerap membawa nama Indonesiasampai ke negeri tetangga.
Hamsad Rangkuti dengan bukunya Bibir Dalam Pispot, Lukisan Perkawinan, Cemara telahditerjemahkan dalam berbagai bahasa, belum lagi novelnya ketika Lampu BerwarnaMerah yang sempat memenangkan sayembara kepenulisan Roman Dewan kesenianJakarta.

Korrie Layun rampan terkenal dengan novelnya Upacara, Percintaan Angin, Malam Putih,Kekasih, Perjalanan dan Guru Sejarah. Selain novelis, beliau piawai menulisesai, puisi, dan telaten mendokumentasikanSastrawan, Sastrawati, baik yunior maupun senior. Saat usianya 55 tahun beliau bahkantelah menulis kurang lebih sekitar 300 buku.

Jhoni Ariadinata dikenal sebagai sastrawan yang mahir mengutak-atik cerpen karyaorang lain. Jauh sebelum jadi penulis beliau pernah berprofesi sebagai tukangbecak, pengamen, buruh banguanan. Sebelum karyanya tembus media, Mas Joni harusbersabar menunggu sampai 500 cerpen yang ia kirim, hingga ditahun 1994cerpennnya yang bertajuk Lampor dimuat di harian kompas sertamendapatkan anugerah sebagai cerpen terbaik di harian dan tahun yang sama.Bukunya Malaikat Tak Datang Pada Malam Hari mendapatkan Pena Award. Bukulainnya Aku bisa Nulis Cerpen 1 dan 2 mendapat respon positif dari khalayak.
Helvi Tiana Rossa disebut-sebut koran tempo sebagai lokomotif penulis muda Indonesia.Pemprakarasa berdirinya FLP (LembagaPengkaderan Penulis Muda) telah menghasilkan buku yang laris dipasaranseperti Ketika Mas Gagah Pergi, Risalah Cinta, SegenggamGumam, Akira, Bukandari Negeri Dongeng dan lain-lain.

Cerpennya HTR demikian biasa Helvy dipanggil,  Jaring-Jaring Merah merupakan cerpen terbaikmajalah Horizon, periode 1990-2000, bukunya Lelaki Kabut dan Boneka telahditerjemahkan dalam berbagai bahasa. Cita-citanya untuk mengenalkan SastraIslami ke negara Paman Sam ke negara Bush telah tercapai di tahun 2005 lalu.

“Mas paku usuk sekilo.” suara pembeli membuyarkan mimpiindahku
 “Piro…?” lanjutorang itu.
“Tiga belas ribu Pak"  jawabku menahan malu.
“Ngantuk ya Mas”
“Inggih Pak” Hah … aku menutup mulutku yangmenguap dengan buku Suara Pancaran Sastra yang karya Korrie Layun rampan yang diterbitkan Yayasan Arus pada tahun 1984.Buku ini aku beli di pasar loak, alun-alun kota Tegal enam bulan lalu.

Awalnya Emak kurang setuju akan keseriusanku untukmenjadi seorang penulis. Emak tak mau aku mempunyai keinginan sepertiPungguk  Merindukan Bulan.
Maklum selain pendidikan yang cuma pas-pasan, aku ini orang miskindan cuma anak daerah. Emak tak mau anaknya alih-alih jadi penulis beneran ehmalah kesurupan.

Tapi setelah aku yakinkan dengan menyebut penulis dansastrawan besar yang berasal tak bepunya, minim akademis dan tinggal didaerah. Beliau adalah D. ZawawiImron dari Madura yang terkenal dengan bukunya Madura Akulah Lautmu, MaduraAkulah Darahmu, Bulan Tertusuk Ilalang. Aku ceritakan pada Emak bagaimanabeliau yang cuma tamat SD bisa menjadi Sastrawan besar negeri ini. Waktu kecilD. Zawawi Imron harus berjalan kilo-kilometer dari desanyaBatang-batang ke kotakaresidenan hanya untuk membaca koran dan buku-buku yang terdapatdiperpustakaan karesidenan tersebut. Tekanan ekonomi dan lambatnya informasitidak mampu membendung minat belajarnya yang begitu tinggi maka tak heranZawawi Imron menjelma menjadi Sastrawan yang komplit yakni penyair, kolumnis,penulis, dosen dan mubaliq.

“Le…Emak akan mendukung apapun yang membuat kamu senang,bahagia.”
 Setiap malammenampakkan wujudnya, disebuah rumah berlantai tanah dengan peneranganseadanya. Seorang pemuda, menari- narikan penanya di secarik kertas folio.Pemuda itu memindahkan ide dan imajinasinya kedalam sebuah tulisan. Meski harusmelawan penat, kantuk karena dipagi harinya pemuda itu telah bekerja seharianpenuh sebagai pelayan toko ISMA LOGAM. Ditemani teh dan kue ala kadarnya yang disuguhkan sang ibu, pemuda itu menjemputimpian untuk menjadi penulis handal.

            Susahpayah pemuda itu mengubah huruf menjadi kata, kata menjelma kalimat disulapmenjadi paragraf demi paragraf hingga lahirlah beberapa cerpen dari pemuda itu,dan pemudia itu adalah aku Bayu Samudra

Setelah diketik di rental komputer terdekat, aku mulai mencobamengirimkan karya-karyaku ke media massa entah lokal maupun nasional

“Mas cerita anda kepanjangan, bisadibuat lebih pendek nggak.” demikian kata redaktur fiksi koran lokal ketika akumenyambangi kantor korantersebut. Tanpa bermaksud menyepelekan koran lokal tersebut akhirnya akukirimkan cerpen kemajalah remaja Nasional.

Seminggu, sebulan hinggaberbulan-bulan aku berharap karyaku dimuat dimedia masa. Tapi harapan tiggal harapan selalu saja yangdimuat penulis- penulis yang telah punya nilai jual alias penulis yangterkenal. Tapi baja telah terlanjur melekat Aku ingat kembali bagaimana seorangThomas Alfa Edison melakukan 1000 kali percobaan untuk menciptakan sebuah lampusaat aku mengetahui kalau cerpenku tertera di daftar cerpen yang tidak layak muat di sebuah majalah remaja. Aku bangkitkan kembali semangatdengan membaca buku yang memuat kisah dan proses kreatif seorang JhoniAriadinata. Beliau sabar menunggu hingga 500 kali baru cerpenya Lampor bisa dimuat di harian Kompas.Saat pak pos mengembalikan karya yang aku kirimkan, aku pompa semangatku denganberkaca pada Ratna Indaswari Ibrahimdan Pipit Senja. Ratna Indaswari menderita penyakit yang membuattubuhnya semakin mengecil. Pipit Senja mengidap thalesimia yangmengharuskan ia cuci darah setiap bulannya Tapi mereka tak menyerah merekaterus menulis hingga bermanfaat bagi sesamanya .

Hingga suatu hari aku mendapat surat dari redaksimajalah remaja yang bertuliskan kami bersedia memuat cerpen anda dengan catatandirvisi ulang lagi.

Bagai mendapat ribuan energi baru, dengan semangat baruaku baca cerpen yang dikembalikan dengan seksama, berulang-ulang mencari kalimat rancu, kata yang sama dan lainsebagainya

Disudut ruangan lain seorang perempuan separuh bayamemperhatikan anak semata wayangnya dengan mata basah

“Le….gusti Allah ora turu, gusti Allah weruh,suatu saat gusti Allah akan menjawab usahamu Le…” serunya lirih parau.



KADO TERAKHIR UNTUK SAHABAT
Karya Nurul Alma Febriyanti

Lima hari sebelum kawanku pindah jauh disana. Selepas makan siang, aku langsung kembali beranjak ketempat aku bermain dengan sahabatku.“Hei, kemana saja kamu? Dari tadi aku nungguin” Tanya sahabatku yang bernama Alvi. “tadi aku makan siang dulu” jawabku sambil menahan perut yang penuh dengan makan siang “ah ya sudah, ayo kita lanjutkan saja mainnya” sahut Alvi. Tidak lama saat aku & Alvi sedang asyik bermain congklak, Rafid adiknya Alvi datang menghampiri kami berdua.“kak, aku pengen bilang” kata Rafid “bilang apa?” sahut Alvi penasaran “kata bapak, sebentar lagi kita pindahan” jawab Rafid “hah? Pindah kemana?” tanyaku memotong pembicaraan mereka “ke Bengkulu” jawab Rafid dengan singkatnya “ya udah kak, ayo disuruh pulang sama ibu buat makan siang dulu” ajak Rafid ke Alvi “iya deh.. ehm.. Alma, aku pulang dulu ya aku mau makan siang” ujar Alvi “eh, iya deh aku juga mau pulang kalau gitu” sahutku tak mau kalah.

Sesampainya dirumah aku langsung masuk kedalam kamar & entah kenapa perkataan Rafid yang belum pasti tersebut, terlintas kembali ke pikiranku. “Andai perkataan tersebut benar, tak terbayang bagaimana perasaanku nanti” ujarku pada cermin yang menatapku datar “sudahlah daripada aku memikirkan yang belum pasti lebih baik aku mendengarkan musik saja” ujarku kembali sambil beranjak mengambil mp3. Tak lama kemudian aku mendengar sebuah pembicaraan, yang aku tau suaranya sudah tak asing lagi bagiku yaitu orang tuaku & orang tua Alvi sahabatku. Aku mencoba mendekati pintu kamar untuk mendengarkan pembicaraan itu. Tak lama tanganku keringat dingin, aku sudah mendapatkan inti pembicaraan ternyata benar apa yang dikatakan Rafid pada Alvi tadi siang bahwa mereka akan pindah kurang lebih sebulan lagi.

Lemas sudah tubuhku setelah mendengar kabar itu, tiba-tiba ibu mengetuk kamarku & mengagetkanku yang sedang bingung itu. *Tok tok tok… “Alma, kamu mengunci pintu kamarmu ya” Tanya ibu sambil mencoba membuka pintu “enggak kok” jawabku dengan lemasnya “kamu kenapa.. ayoo buka kamarmu!!” teriak ibu “iya.. sebentar” sahutku sambil membuka pintu.
“ngapain kamu mengunci kamar?” Tanya ibu. “gak knapa-napa… tadi aku memang lg duduk didepan pintu” jawabku sambil menoleh keruang tamu yang berhadapan dengan kamar tidurku.
“ya sudah, tadi orang tuanya Alvi bilang kalau mereka ingin pindah bulan depan”
“iya, aku sudah tau” sahutku kembali ke kamar tidur.
“oh kamu tidak sedih kan?” Tanya ibu yang menghampiriku. “…
” tak kujawab pertanyaan ibu.
 “Hm.. sudahlah tak usah dibahas dulu.. sana tidur siang dulu biar nanti malam bisa mengerjakan PR” ujar ibu sembari mengelus elus rambutku.
“iya…” jawabku singkat.
Esoknya tepat dihari Minggu, matahari pagi menyambutku. Suara ayam berkokok dan jam beker menjadi satu. Tetapi, aku tetap saja masih ingin ditempat tidur. Sampai sampai ibuku memaksaku untyk tidak bermalas malasan.
“Alma, ayoo bangun.. perempuan gak baik bangun kesiangan” ujar ibu sambil melipat selimutku. “sebentar dulu lah.. aku masih ngantuk” sahutku sambil menarik selimut ditangan ibu. “itu Alvi ngajak kamu main.. ayoo bangun!!” ujar ibu kembali sambil mengeleng gelengkan kepala. “oh
oke oke” sahutku semangat karena ingat bahwa Alvi akan pindah sebulan lagi. Lalu, aku langsung beranjak dan segera lari keluar kamar tidur untuk mandi & sarapan. Setelah itu Alvi tiba-tiba menghampiri rumahku.

“Assalamualaikum, Alma!!” panggil Alvi dari depan rumah.
“walaikumsallam, iya!!” sahut ibuku yang beranjak keluar rumah.
“oh ibunya Alma, ada Alma nya gak?” Tanya Alvi.
“Alma nya lagi sarapan, sebentar ya tunggu dulu aja. Sini masuk” jawab ibuku.
“iya, terimakasih” sahut Alvi.

Ketika aku sedang asyik asyiknya sarapan, Alvi mengagetkanku. “Alma, makan terus kau ini” ujar Alvi sambil tertawa. “yee, ngagetin saja kamu ini. Aku laper tau” sahutku sambil melanjutkan sarapan. “kok gak bagi-bagi aku sih” Tanya Alvi sambil menyengir kuda. “kamu mau, nih aku ambilin ya” jawabku sambil mengambil piring. “hahaha.. tidak, aku sudah makan, kau saja sana gendut” sahut Alvi sambil tertawa terbahak bahak. “ ya sudah” jawabku kembali sambil membuang muka. Tak berapa lama kemudian, sarapanku habis lalu Alvi mengajakku bermain games.

“sudah kan, ayoo main sekarang” ajak Alvi semangat.
“aduh, sebentar dong. Perutku penuh sekali ini” sahutku lemas karena kebanyakan makan.
“ah ayolah, makanya jangan makan banyak-banyak. Kalau gitu kapan mau dietnya” ujar Alvi menyindirku.
“ya sudah ya sudah.. ayoo mau main apa?” ajakku masih malas.
“Vietcong yuk tempur tempuran” jawab Alvi semangat seperti pahlawan jaman dulu.
“hah, okedeh” sahutku sambil menyalakan laptop milik ayah.

Kemudian, aku dan Alvi bermain games kesukaan kami berdua. Kami bermain bergantian, besar besaran skor, dll tidak berapa lama ibunya Alvi memanggilnya untuk pulang. “Assalamualaikum, ada Alvinya gak?” Tanya ibunya Alvi sambil tersenyum denganku. “ada-ada.. Alvi! ibumu mencarimu” kataku kepada Alvi yang sedang asyik bermain. “iya.. sebentar lagi, emangnya kenapa?” Tanya Alvi. “aku tidak tau, sana kamu pulang dulu. Kasian ibumu” ujarku sambil mematikan permainan. “huh… iya iya” sahut Alvi beranjak pulang kerumahnya.

Tak berapa lama, Alvi mengagetkanku saat aku sedang asyik melanjutkan permainan yang sedang aku mainkan. “Alma!!” panggil Alvi sambil menepuk pundakku. “Apa??” jawabku kaget. “aku pengen bilang sesuatu nih, hentikan dulu mainannya” ujar Alvi. “iya!!” jawabku agak kesal. “jadi gini.. dengarkan ya… ternyata aku akan pindah 3 hari lagi” cerita Alvi. “hah? Kok dipercepat??” sahutku memotong pembicaraan Alvi. “aku juga tidak tau, kau sudah memotong pembicaraanku saja. Sudah ya aku harus pulang ini.. bye!” ujar Alvi beranjak keluar rumah. “tunggu!! Kau serius??” tanyaku dengan penuh ketidak percayaan. “serius.. dua rius malahan” jawab Alvi sambil memakai sandal. “oh ok.. bye!!” sahutku kembali. Setelah Alvi pulang kerumahnya, aku langsung lari masuk kedalam kamar & mengunci diri. Aku tidak tau apa yang


 harus kulakukan sedangkan sahabatku sendiri ingin pindahan. Terlintas dipikiranku untuk memberikan Alvi sahabatku sebuah kado yang mungkin isinya bisa membuat Alvi mengingat persahabatan antara kita selamanya walaupun sampai akhir hayat nanti kita tak akan dipertemukan lagi. Ku ambil buku diary & kutuliskan cerita-cerita persahabatanku dengan Alvi. Tak lama kemudian , terpikirkan suatu hadiah yang akan kukasih dihari dia pindahan nanti lalu, aku ambil uang simpanan yang kusimpan didompetku & ku piker-pikir uangnya cukup untuk membelikan hadiah untuk Alvi.

Besoknya sehabis pulang sekolah, aku langsung berlari ke toko sepatu dekat rumahku. Ku lihat-lihat sepatu yang cukup menarik perhatianku, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang menghampiriku.
“hai nak, kamu mencari sepatu apa?” Tanya seorang bapak yang menurutku adalah pemilik took sepatu tersebut.
“i..iya pak, maaf ada sepatu futsal tidak?” tanyaku sambil celingak celinguk kesegala rak sepatu.
“oh, ada kok banyak.. untuk apa? Kok perempuan nyari sepatu futsal?” Tanya pemilik sepatu itu sambil tertawa melihatku yang masih polos.
“bukan untukku pak, tapi untuk sahabatku” jawabku dengan polosnya.
“teman yang baik ya, memangnya temanmu mau ulang tahun?” Tanya pemilik toko itu. Entah kapan pemilik toko itu berhenti bertanyaku.
“iya” jawabku berbohong karena tak mau ditanya-tanya lagi.
“ok, sebentar ya. Bapak ambilkan dulu sepatu yang bagus untuk sahabatmu” ujar pemilik toko sepatu itu sambil berjalan ke sebuah rak sepatu.
“sip, pak” sahutku.

Tak lama, si pemilik toko sepatu itu kembali sambil membawa sepasang sepatu futsal.
“ini nak!!” kata pemilik toko sepatu itu.
“wah bagus sekali, berapa pak harganya?” tanyaku sambil melihat lihat sepatu yang dibawa oleh si pemilik toko itu.
“bapak kasih murah nak untukmu.. ini aslinya Rp. 60.000 jadi kamu bayar Rp.20.000 saja nak” jawab si pemilik toko itu sambil tersenyum.
“terima kasih banyak pak, ini uangnya” sahutku.
“iya nak, sama-sama” ujar sipemilik toko tersebut.

Setelah itu, aku kembali kerumah & mulai membungkus kado untuk Alvi. Mungkin ini hadiahya tidak seberapa, kutuliskan juga surat untuk Alvi.
Malamnya aku masih memikirkan betapa sedihnya perasaanku nanti jika sahabatku pindah pasti tidak bisa bermain bersama lagi seketika air mataku menetes & tiba-tiba ibu mengetuk pintuku. “Alma, ayo kerjakan dulu PRmu nanti kemalaman” ujar Ibu dari depan pintu kamar tidurku. “i..iya” sahutku sambil mengelap tetesan air mata yang membasahi buku yang sedang aku baca. Saat itu pikiranku masih campur aduk entah harus senang, sedih atau apa. Aku tidak bias konsen mengerjakan PR malam itu.


Besoknya disekolah, aku sering bengong sendiri sampai-sampai guruku bertanya kenapa aku seperti itu. Ku jawab saja dengan jawaban yang sangat singkat karena aku sedang memkikirkan bahwa besok lah dimana aku akan berpisah dengan sahabatku sendiri. Sepulang sekolah, aku langsung berlari memasuki kamar lagi, mengurung diri hingga malam. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku & kuintip lewat jendela kamar. Tak lama kemudian juga Ibu memanggilku untuk keluar kamar sebentar.

“Alma, ayoo keluar sebentar. Ada Alvi nih” ajak ibu sambil membuka pintu kamarku.
“iya…” jawabku beranjak keluar kamar.
“nah kamu sudah disini, jadi begini besok kan Alvi mau pindah ayoo berpamitan dulu” ujar ibuku.
“Alma!!” peluk ibunya Alvi kepadaku. “maafin tante sama Alvi beserta keluarga ya jika punya salah sama kamu, ini tante ada sesuatu buat kamu” kata ibunya Alvi sambil memberiku sekotak coklat.
“i..i..iya” sahutku tak bisa menahan perasaan & sejenak kuingat bahwa aku juga punya hadiah untuk Alvi.
“Alvi, ini ada hadiah buat kamu. Terima ya” ujarku mulai menangis.
“iya. Alma jangan nangis dong” jawab Alvi.
“aku..” sahutku semakin sedih.
“sudah kamu tidak usah sedih nanti suatu saat kalian bisa ketemu kembali kok, ibu yakin” kata ibu sambil menghapus air mataku.
“ya udah, Alma jangan nangis ya… oh iya ini tante kasih no telp. Tante biar nanti kalau Alma kangen sama Alvi bisa sms atau telepon ya” ujar ibunya Alvi sambil menghapus air matanya pula yang hendak menetes.
“iya..” jawabku sambil masih menangis.
Malam pun tiba, Alvi dan keluarganya pun berpamit & harus segera pulang. Aku pun kembali ke tempat tidur & mulai menangis. Ku gigit bantal yang ada didekatku tak tahan aku melihat hal tadi.

Esoknya, tepat dipagi hari. Suara mobil kijang mengagetkanku & bergegas aku keluar. Ku lihat Alvi & keluarganya sudah bersiap-siap untuk berangkat, tubuhku mulai lemas ibu pun mengagetkanku untuk segera bersiap siap sekolah. Sebenarnya aku ingin tidak sekolah dulu hari itu tapi bagaimana juga pendidikan yang utama. Aku bergegas kesekolah tapi sebelum itu, aku berpamitan dengan Alvi lagi.
“Alvi!!” panggilku dari jauh.
“Alma!!” jawabnya sambil mendekatiku.
“jaga dirimu baik baik disana ya kawan, semoga banyak teman-teman barumu disana & jangan lupakan aku” ujarku mulai meneteskan air mata.
“iya, kamu tenang. Kalau kamu sedih kepergianku ini tidak akan nyaman” sahutnya sambil memberiku tissue.
“iya… terima kasih” jawabku kembali sambil menghapus airmata dengan tissue yang diberikan oleh Alvi.

“oh iya Alma, thanks ya buat kadonya itu bagus banget… aku juga udah baca suratnya… terima kasih banyak ya… akan kujaga terus kado mu” ujar Alvi menatapku.
“iya.. sama-sama karena mungkin itu kado terakhirku untukmu kawan” sahutku sambil tersenyum tak menunjukkan kesedihan lagi.
“kau memang sahabat terbaikku selamanya” kata-kata terakhir Alvi yang ia ucapkan kepadaku. Disitulah aku berpisah & disitulah aku harus menempuh hidup baru, juga makna dari sebuah persahabatan tanpa menilai kekurangan seorang sahabat.

No comments:

Post a Comment